TEMPO.CO, Yogyakarta - Bisa tidaknya penyandang disabilitas mental psikososial mengikuti Pemilu 2019 masih simpang siur di masyarakat. Sebagian orang berpendapat mereka tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena tergolong difabel mental. Namun ada pula difabel mental psikososial yang mampu beraktivitas seperti biasa dengan rutin minum obat.
Baca: Difabel Mental Psikososial Nyoblos Pemilu: Kami Sehat
Kepala Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU Daerah Istimewa Yogyakarta, Wawan Budiyanto menjelaskan syarat difabel mental psikososial atau difabel psikotis atau orang dengan gangguan jiwa atau orang dengan gangguan psikososial yang boleh memberikan hak suara dalam Pemilu yang berlangsung pada 17 April 2019. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri dalam Penyelenggaraan Pemilu, rekomendasi surat dokter bukan disyaratkan bagi semua difabel mental psikososial.
Surat keterangan dari dokter itu, menurut dia, hanya berlaku bagi difabel mental yang sedang kambuh gangguan jiwa atau ingatannya (mengalami kondisi manik atau psikotik). “Difabel mental psikososial yang bisa mencoblos, tidak perlu menyertakan bukti surat keterangan dokter,” kata Wawan Budiyanto dalam diskusi Polemik Hak Pilih Difabel Mental di Yogyakarta, Jumat, 21 Desember 2018.
Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 menyebutkan syarat pemilih adalah tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya. Pada ayat 3 disebutkan pemilih yang sedang terganggu jiwa atau ingatannya tidak memenuhi syarat sebagai pemilih yang harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter. “Harus dipahami semangat penyelenggara pemilu adalah berupaya melindungi hak pilih. Tapi ada norma-norma yang menjadi rujukannya,” kata Wawan.
Dia menjelaskan dua metode yang dilakukan KPU untuk memastikan apakah difabel mental memenuhi syarat sebagai pemilih atau tidak. Pertama, sepanjang tidak ada surat keterangan dokter yang menyatakan difabel mental psikososial sedang mengalami gangguan jiwa atau ingatan, maka dia bisa menyalurkan hak pilih. Prinsipnya, semua warga negara diberi kesempatan masuk dalam daftar pemilih,” kata Wawan.
Kedua, ada prosedur operasional standar dari KPU dengan mendatangi pemilik hak pilih dari rumah ke rumah melalui petugas pemutakhiran data pemilih. Salah satu pemutakhiran data dilakukan lewat pencocokan dan penelitian dengan mendata ada tidaknya anggota keluarga yang menyandang disabilitas dan jenis disabilitasnya. “Sepanjang keluarga tidak bisa menunjukkan surat dokter, petugas harus mencatatnya dalam daftar pemilih,” ucap Wawan.
Baca juga:
Dokter Jelaskan Beda Difabel Mental yang Bisa dan Tak Ikut Pemilu
Koordinator Advokasi Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel atau Sigab, Purwanti menganggap peraturan tersebut masih belum pas. Menurut dia, ketentuan surat keterangan dokter yang menyatakan tidak mampu menggunakan hak pilih sebaiknya dihapus. Musababnya, dalam hukum, difabel mental psikososial berada di bawah pengampuan sehingga dalam bertindak secara hukum diwakilkan oleh walinya.
Sebab itu, Purwanti melanjutkan, surat keterangan dokter tersebut berpotensi disalahgunakan pihak lain dengan alasan difabel mental yang tercatat identitasnya dalam surat tersebut berada di bawah pengampuan, sehingga menganggap pencoblosan bisa diwakilkan. Akibatnya, difabel mental bisa kehilangan hak keperdataannya.
“Lebih baik semua difabel mental psikososial didaftar dulu. Apakah dia nanti memilih atau tidak, dilihat pada hari H," kata Purwanti. Langkah ini dilakukan agar difabel mental tidak kehilangan hak pilihnya.
Artikel terkait:
Yang Harus Dilakukan Jika Difabel Belum Terdaftar di Pemilu 2019